Selasa, 28 Desember 2010

Jumlah Planet di Tata Surya Akan Berkurang

VIVAnews - Tahun 2006 lalu, International Astronomical Union (IAU) mendegradasi Pluto dari planet menjadi sebuah planet kerdil (dwarf planet). Alasannya, dari sisi ukuran, Pluto tidak memenuhi syarat sebagai untuk disebut sebagai sebuah planet.

Saat ini sistem tata surya tinggal memiliki delapan planet yang mengelilingi Matahari. Akan tetapi, dari bukti-bukti baru yang ditemukan, ke depannya bisa jadi tata surya hanya akan terdiri dari 7 buah planet saja.

Dari sisi ukuran, Merkurius memang dua kali lebih besar dibanding Pluto. Namun ternyata, Merkurius, yang kini menjadi planet terkecil yang ada di tata surya itu juga semakin menciut.

Peneliti memperkirakan, Merkurius memang tidak akan jadi sekecil mantan planet kesembilan milik tata surya. Akan tetapi jika ukurannya terus mengecil, IAU tentu akan mendegradasi status planet itu.

Penyebab menciutnya ukuran Merkurius adalah karena inti planet itu yang terdiri dari zat besi cair terus mendingin dan memadat sehingga menciutkan ukuran planet itu dari dalam. Menurut peneliti, pergerakan ini sudah berlangsung sejak miliaran tahun yang lalu.

Penciutan Merkurius juga terlihat dari foto-foto milik satelit Messenger milik NASA yang menggambarkan terjadi lipatan di kerak planet itu. Dari foto juga terungkap bahwa dulu, Merkurius punya banyak gunung berapi yang meletus. Adapun yang mematikan gunung itu adalah karena inti planet semakin dingin.

“Merkurius menunjukkan pada kita berapa besar pengaruh pendinginan inti planet terhadap evolusi yang terjadi di permukaan,” kata Sean Solomon, peneliti dari Carnegie Institution for Science, di Washington, seperti dikutip dari LA Times, 28 Desember 2010.

Sama seperti Mars dan Bulan, Merkurius sangat berapi saat ia lahir. Namun planet itu kehilangan panasnya sejalan dengan pertumbuhannya selama sekitar 4,5 miliar tahun terakhir yang menghentikan aktivitas vulkanik di sana.

Sebagai informasi, planet Bumi juga mengalami pendinginan dengan cara yang serupa. Dan dalam waktu beberapa miliar tahun mendatang, Bumi juga akan terlalu dingin untuk gunung berapi. Setelah inti bumi semakin dingin, gunung-gunung berapi di Bumi akan berhenti meletus. (umi)

• VIVAnews

Pesawat Bisa Sebabkan Hujan Es atau Salju


VIVAnews - Anda pernah menyaksikan hujan salju atau hujan es turun di kota-kota atau di pelosok Indonesia? Ternyata, fenomena itu bukanlah hal yang aneh dan sudah ada penjelasannya. Ini dia.


Saat sedang duduk di kabin, dengan sandaran kursi berdiri tegak serta meja makan di hadapan Anda dalam posisi terkunci, pesawat yang Anda tumpangi bisa jadi sedang memicu kejadian tak lazim, misalnya seperti hujan es.

Andrew Heymsfield, mikrofisikawan dari National Center for Atmosfpheric Research di Boulder, Colorado, menemukan bahwa pesawat bisa menyebabkan lubang di awan dan mengubah cuaca daratan di bawahnya.

Seperti dikutip dari Discovermagazine, Senin 27 Desember 2010, kristal es tidak terbentuk dengan mudah. Sama halnya dengan titik-titik uap air yang tetap dalam bentuk asalnya, meskipun atmosfir di sekitarnya mencapai jauh di bawah titik beku.

Menurut Heymsfield, pesawat yang memasuki awan yang super dingin setelah mereka tinggal landas atau sebelum mendarat bisa menyebabkan gangguan yang dapat membekukan titik-titik uap air tersebut secara instan.

“Ketika mesin turboprop milik pesawat memaksa air di belakang sirip-sirip propeller atau ketika mesin jet menyebabkan udara lembab mengalir di bawah sayap agar memberi daya angkat pada pesawat, udara kemudian menyebar dan mendingin,” ujar Heymsfield.

Salah satu dari efek yang ditimbulkan pesawat itu, kata Heymsfield, bisa menurunkan temperatur udara hingga lebih dari satu derajat.

“Ini seketika akan membekukan titik-titik air di awan,” kata Heymsfield. “Titik air ini dengan cepat akan membentuk kristal es yang keluar dari awan sebagai salju,” ucapnya.

Heymsfield menyebutkan, fenomena ini sedikit menjelaskan terjadinya keterlambatan pesawat di musim dingin yang belakangan banyak terjadi.

“Efek utama dari kejadian ini adalah berubahnya curah hujan lokal,” tutur Heymsfield. “Di sekitar bandara, khususnya di musim dingin, lebih banyak salju yang turun dibandingkan di kawasan lain”. (art)

• VIVAnews